Tampilkan postingan dengan label agape. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label agape. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 Oktober 2012

Pembelaan Iman Stefanus di Hadapan Mahkamah Agama

Kisah Para Rasul 7

Baca bagian sebelumnya!

Pada bagian sebelumnya bagaimana Stefanus menjalankan pelayanan meja, yakni pembagian kebutuhan para janda, yang dipercayakan keadanya, namun juga sekaligus menjalankan tugas memberikan kesaksian serta melayani jemaat melalui tanda-tanda dan mujizat-mujizat. Tindakannya itu mendatangkan iri dan dengki di kalangan jemaat Yahudi sehingga mereka menangkap Stefanus dan menghadapkannya ke Mahkamah Agama.

Stefanus membela imannya di hadapan imam-imam
Pembelaan Iman Stefanus
Pada bab 7 ini kita melihat bagaimana Stefanus melakukan pembelaan imannya di hadapan para imam dalam sidang Mahkamah Agama. Ia secara singkat mengutarakan sejarah keselamatan mulai dari bagaimana YAHWE memanggil Abraham sampai dengan zaman Salomo. Intinya Stefanus ingin membuat para imam sadar akan apa yang sedang terjadi, yang merupakan pengulangan sejarah kebodohan dan kebebalan bangsa Israel dalam menanggapi rencana keselamatan yang sudah selalu dan sekarang ini sedang dikerjakan YAHWE untuk bangsa Israel. Stefanus menunjukkan bahwa selama ini, selama berabad-abad, bangsa Israel telah menentang karya Roh Kudus. Ia memperingatkan dari sejarah bagimana nabi-nabi yang diutus YAHWE ditolak telah dan bahkan dibunuh oleh bangsa pilihan-Nya. Dan hal yang sama sekarang ini sedang dilakukan oleh bangsa Israel yang telah menolak dan membunuh Orang Benar, yakni YAHSHUA, yang diutus YAHWE untuk menjadi penebus dan mesias (ayat 52).

Kita tahu apa reaksi para imam terhadap kritik pedas yang disampaikan Stefanus. Stefanus berusaha menunjukkan warisan dosa yang sekarang ini juga sedang berkuasa atas bangsanya dan berharap agar mereka sadar akan warisan dosa tersebut namun usahanya itu tidak berhasil membukakan hati para imam. Sebaliknya, terhadap kebenaran yang diwartakan oleh Stefanus, mereka menutup telinga (ayat 57) dan menyeretnya keluar dan merajamnya.

Di sini kita belajar bahwa kebenaran yang kita sampaikan bisa disalahpahami dan membuat orang marah. Dalam kisah Stefanus, kemarahan tersebut berujung kepada kematian Stefanus yang setia melayani YAHSHUA.

Bapa, jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka!
Stefanus Dirajam
Di akhir bab 7 Kisah Para Rasul, ada sebuah sikap yang sangat penting untuk kita pelajari dari saksi YAHSHUA yang berani dan setia ini. Terhadap para penganiayanya, para pembunuhnya, Stefanus berdoa kepada YAHWE agar YAHWE tidak menanggungkan dosa pembunuhan itu kepada para pelaku pembunuhan tersebut.

Hubungan intim Stefanus dengan YAHWE memberinya kekuatan untuk tetap setia dan berani bersaksi dan menyampaikan kebenaran. Hubungan yang intim dengan Roh Kudus memberikannya ketulusan dan kasih yang melimpah sehingga ia sanggup untuk selalu siap sedia memberikan pengampunan dan mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang menyakiti, mengkhianati, dan menganiayanya.

Nyata bahwa keberanian Stefanus untuk membukakan dan menelanjangi kejahatan orang lain didorong oleh kasih yang tulus, kasih Agape, dengan doa dan harapan agar orang tersebut mau sadar dan berbalik dari kejahatannya. Keberaniannya dan kesetiaannya tidak didorong oleh kesombongan rohani melainkan oleh kasih yang tulus terhadap jiwa-jiwa yang terhilang.

Hendaklah setiap pelayanan dan kesaksian, serta teguran yang kita berikan kepada orang lain, benar-benar didasari oleh kasih yang tulus demi kebaikan orang yang kita layani, kita beri kesaksian, atau kita tegur. Sikap hati yang demikian bersumber dari kasih yang sejati kepada YAHWE dan hubungan yang intim dengan Roh Kudus-Nya. Dan YAHWE meneguhkan kasih yang demikian dengan menyatakan Diri-Nya kepada orang yang amat mengasihi-Nya (ayat 56).

Baca bagian selanjutnya!



Baca juga:
Hubungan yang Intim dengan YAHWE di dalam Pelayanan
Pelayanan kepada Janda-Janda dalam Jemaat Mula-Mula
Ketaatan kepada YAHWE vs. Pemimpin
Ketaatan Para Rasul Berhadapan dangan Otoritas Agama dan Dunia  

Sabtu, 10 September 2011

The Story of Love: Mengasihi Tuhan

Manusia punya kelemahan terbesar, yakni mengedepankan egonya sendiri. Bahkan dalam niat yang terbaik pun yang dimiliki manusia, selalu di dalamnya terkandung maksud-maksud tersembunyi, yakni kepentingan egonya sendiri. Dan ... baik seandainya manusia sadar akan kelemahannya ini sehingga ia tidak pernah akan bisa menyombongkan diri. Sebagaimana Paulus yang meskipun sangat hebat dalam pelayanan, ia tetap mengakui adanya duri di dalam dagingnya sehingga ia tidak sempat meninggikan dirinya (2 Kor 12:7-10).
Kita akan belajar bagaimana Yahwe memahami kelemahan manusia ini dan bagaimana Yahwe ingin kita sadar akan kelehaman ini, melalui kisah Petrus.

Dalam Yohanes 21:15-19, Yesus bertanya kepada Petrus sampai 3 kali: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" Tiga kali. 3x. Bayangkan! Kalau Anda ditanyai oleh istri atau suami Anda pertanyaan yang sama, sampai tiga kali!

Pertama kali kalau kita ditanya demikian, bisa pasti kita akan menjawab, tanpa berpikir, " Ya, sayang, aku mengasihi kamu." Tapi kemudian kalau orang yang sama menanyakan hal yang sama kepada kita, mungkin kita juga masih menjawab dengan pasti dan dalam hati kita paling berpikir, ia butuh semacam konfirmasi atau peneguhan, sehingga kita akan menegaskan dan mengatakan, "Iya, sayang, aku mengasihi kamu." Tetapi kalau pertanyaan yang sama ditanyakan untuk ketiga kalinya, "Apakah engkau mengasihi aku?" Kemungkinan kita akan mulai sungguh-sungguh bertanya dalam hati, melihat ke dalam diri, bukan hanya melihat ke dalam diri orang yang bertanya, tetapi ke dalam diri sendiri dan mulai mengoreksi diri, 'Benar ndak ya kalau aku mengasihi dia?'

Demikian pun yang Yesus lakukan terhadap Petrus. Yesus bertanya sampai tiga kali, "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" Seperti Petrus, kita pasti bertanya dalam hati, 'Kenapa sampai tiga kali?'

Kita akan lebih memahami maksud Yesus kalau kita kembali ke teks aslinya. Sebenarnya Yesus menggunakan 2 kata yang berbeda. Untuk kedua pertanyaan yang pertama, Yesus menggunakan kata AGAPE,ἀγαπᾷς με. Simon, anak Yohanes, apakah engkau ἀγαπᾷς με? Sedangkan untuk pertanyaan ketiga, Yesus menggunakan kata FILIA, φιλεῖς με. Simon, anak Yohanes, apakah engkau φιλεῖς με.

Agape adalah jenis kasih atau cinta yang mengorbankan diri. Sedangkan filia adalah cinta persauadaraan atau persahabatan. Bahkan sebenarnya 3 kali pertanyaan yang diajukan Yesus kepada Petrus adalah 3 pertanyaan yang berbeda. Coba perhatikan:

Ayat 15: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau ἀγαπᾷς με  lebih dari pada mereka ini?"
Ayat 17: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau ἀγαπᾷς με?"
Ayat 17: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau 
φιλεῖς  με 
Dan untuk ketiga pertanyaan itu Petrus menjawab dengan menggunakan kata filia,  φιλῶ σε.

Tiga pertanyaan Yesus untuk Petrus sebenarnya bergradasi menurun. Pertama menggunakan kata agape ditambah dengan "lebih dari mereka ini". Yesus memberikan tambahan ini bukannya tanpa alasan. Alasannya bisa dilihat dalam Matius 26:31-35. Hal ini mengingatkan betapa pentingnya kita untuk membaca seluruh Kitab Suci agar bisa memahaminya dengan lebih baik. Dalam Matius 26:33 Petrus mengatakan bahwa meskipun mereka semua tergoncang imannya karena Yesus akan ditangkap, ia sekali-kali tidak. Di sini Petrus tampil sebagai orang yang merasa paling baik, sebagai murid Yesus yang paling hebat. Petrus merasa yakin bahwa ia sanggup berkorban untuk Yesus, bahwa ia sanggup untuk AGAPE kepada Yesus. Dan para murid yang lain pun ikut-ikutan mengatakan hal yang sama (ayat 35). 

Hal ini menunjukkan suatu ego yang berlebihan. Bahkan ketika kita merasa sanggup berkorban pun, kita harus hati-hati, jangan-jangan itu didorong oleh ego kita sendiri. Kita tahu bagaimana ego ini menguasai para murid Yesus. Dalam beberapa perikop lain kita tahu bahwa beberapa kali para murid Yesus memperdebatkan siapa yang paling besar di antara mereka.

Tetapi ternyata Petrus gagal total. Bukannya membela Yesus ia malahan menyangkal Yesus.

Yohanes 21:15-19 merupakan perikop setelah kebangkitan. Yesus tahu apa yang sudah dilakukan Petrus. Yesus tahu kesombongan Petrus. Yesus juga tahu penyangkalan Petrus. Yesus sangat tahu level Petrus. Sehingga, pertanyaan pertama dengan kata "agape" ditambah "lebih dari mereka ini" digunakan Yesus untuk mengingatkan niat Petrus yang ternyata gagal dibuktikannya. Dan kali ini Petrus tidak berani menggunakan kata "agape", namun "filia", untuk menjawab tantangan Yesus. Ia sadar akan kegagalannya; ia sadar akan kesombongannya terdahulu. Pertanyan kedua Yesus masih menggunakan kata "agape" namun tanpa tambahan "lebih dari mereka ini". Petrus tetap menjawab dengan kata "filia". Pertanyaan ketiga Yesus menurunkan levelnya, Dia menggunakan "filia", menyamakan level-Nya dengan level Petrus. Dan Petrus menegaskan bahwa di hadapan Tuhan, manusia tidak bisa menipu diri. Tuhan tahu isi hati dan level manusia, sehingga Petrus mengatakan, "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku [hanya] φιλῶ  σε [philo se, I love thee]. 

Petrus tidak tergoda lagi untuk meningginya diri lagi. Terhadap ketiga pertanyaan Yesus, Petrus tetap menjawabnya dengan kata filia. Dia tahu dia pernah gagal total. Namun dia juga tahu bahwa Yesus tetap mengasihi dia. Sesudah bangkit dan bertemu Petrus, Yesus tidak menagih janji, "Mana buktinya, katanya mau berkorban untuk-Ku?" Yesus tidak mempermalukan Petrus, karena Yesus tahu persis isi hati dan level kasih Petrus terhadap-Nya. 

Namun Petrus, dalam kesadaran diri penuh akan kelemahannya, ia menjadi lebih bisa belajar setia sampai mati. Ia melengkapi kasih filianya kepada Yesus dengan kasih agape di akhir hidupnya. Ia rela mati disalib untuk Yesus dengan posisi terbalik.

Hari ini kita belajar bahwa kita tidak bisa menyembunyikan diri di hadapan Yahwe. Yahwe tahu diri kita lebih dari kita mengenal diri kita. Hari ini juga pertanyaan ini diajukan kepada kita, "Apakah engkau mengasihi Aku?" Hendaklah kita dengan rendah hati, sadar akan kelemahan kita, belajar untuk mengasihi Yahwe, seperti Petrus dan Paulus yang mengasihi-Nya dan setia sampai mati.

Baca juga:
Hidup Berkemenangan (1): Menjaga Hati
Hidup Berkemenangan (2): Membangun Manusia Roh
Bagaimanakah Yeremia Dipanggil Menjadi Nabi?

Jumat, 07 Januari 2011

Kasih Agape melandasi kesaksian dan pewartaan yang sejati

Kisah 7:59 Sedang mereka melemparinya Stefanus berdoa, katanya: "Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku." 60 Sambil berlutut ia berseru dengan suara nyaring: "Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!" Dan dengan perkataan itu meninggallah ia.

Stefanus dirajam karena dengan keras mengecam kedegilan hati bangsa Israel di hadapan tua-tua. Ia meninggal, namun sebelum itu ia berdoa agar Tuhan tidak menanggungkan dosa pembunuhan itu kepada para perajamnya.

Apa yang bisa saya pelajari dari kisah ini?
1. Stefanus tidak segan-segan menelanjangi kesalahan bangsa Israel di hadapan para pemimpinnya. Ia menceritakan kembali bagaimana nenek moyang mereka tidak menghormati dan tidak menghargai para nabi dan bahkan telah menganiaya dan membantai sebagian dari para nabi. Dan terakhir Stefanus mengatakan bahwa hal yang sama sekarang baru saja diulang oleh bangsa Israel: membunuh Yesus.

Dan sebagai akibatnya:

2. Stefanus menghadapi risiko dirajam.
Teguran keras Stefanus berbuah pada kematiannya secara dirajam. Kematian adalah risiko yang lazim dialami oleh orang yang berani berkata jujur dan blak-blakan mengenai kebobrokan masyarakatnya. Namun sikap Stefanus menghadapi risiko hukuman mati ini benar-benar sesuatu yang menarik untuk diamati: ia tidak mengutuki orang yang membunuhnya, sebaliknya, ia berdoa agar dosa pembunuhan itu tidak ditanggungkan kepada para pembunuhnya.

3. Sikap Stefanus ini menunjukkan sebuah kasih yang tulus kepada bangsa yang "dikecamnya." Dari sini kita tahu bahwa sikap keras Stefanus terhadap orang-orang tersebut sebelumnya dilandasi oleh kasih yang tulus. Ia tidak rela orang-orang itu binasa oleh pemberotakan mereka sendiri terhadap Yahwe. Sebab itu ia tida segan-segan mengecam sikap mereka.

Sekali pun tidak ada kepastian bahwa mereka akan mendengarkan kata-katanya, atau bahkan juga tidak ada kepastian bahwa setelah mereka melihat "kesaksiannya" dengan rela dirajam, mereka akan membuka hati untuk menerima tawaran keselamatan dalam nama Yesus atau Yashua, Stefanus tetap bersaksi, tetap berani berkata keras, tetap rela dirajam. Dari sini kelihatan bahwa:

4. kasih tulus atau kasih agape tidak berorientasi pada hasil sesaat, pada hasil yang segera bisa kelihatan  di depan mata. Kasih ini bersandar penuh pada kuasa Yahwe, pada rencana ajaib Yahwe, yang menjanjikan kemenangan pasti kepada mereka yang bersandar kepada-Nya. Sekali pun keadaan bertolak belakang sama sekali, kasih agape tetap percaya bahwa sesuatu yang tampaknya sia-sia tetap harus dikerjakan.

Perjuangan yang dilakukan tidak hanya sekadar untuk menikmati hasil kemenangan fisik yang kelihatan, namun untuk memenangkan pertempuran yang sesungguhnya melawan kuasa-kuasa di udara: Efesus 6:12 karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.


Tidak apa-apa kalau perjuangan kita tampaknya tidak membuahkan apa-apa, tetapi yakinlah bahwa ketika kita tetap maju dan tetap teguh dengan perjuangan kita, kita sedang mengalahkan penguasa-penguasa kegelapan.

Baca juga: Dalam Kristus ada belas kasih!